Hari Buruh Internasional : Migrant Care Sebut Nasib Buruh Kian Kelam di Tengah Krisis

BANTEN – Migrant Care menyebut bahwa nasib buruh di tahun 2025 makin kelam di tengah ekonomi dan politik yang kian suram.
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo mengatakan, alih-alih membawa harapan, janji penciptaan jutaan lapangan kerja melalui kampanye Pemilu 2024 dan Omnibus Law Cipta Kerja terbukti tak lebih dari ilusi. Realitas menunjukkan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), kelesuan ekonomi, serta perlindungan buruh yang kian terabaikan.
Menurut Wahyu, gelombang PHK massal terjadi di berbagai sektor industri sebagai dampak dari perang dagang global yang dipicu oleh kebijakan proteksionis Presiden AS Donald Trump. Sementara itu, proyek populis “Makan Bergizi Gratis” menyebabkan kebijakan efisiensi anggaran yang memperparah kontraksi sektor riil dan jasa, berdampak serius pada sektor ketenagakerjaan.
“Walau telah ada kebijakan efisiensi anggaran, APBN masih menanggung beban berat sehingga pada triwulan pertama tahun 2025, penarikan utang luar negeri sudah sangat besar sebesar Rp250 triliun,” katanya melalui keterangan tertulis, Kamis, (01/05/2025).
Di tengah krisis ini, kata Wahyu, muncul tagar viral #kaburajadulu yang mencerminkan frustrasi kalangan muda terhadap masa depan Indonesia. Tak hanya buruh domestik, nasib pekerja migran Indonesia pun semakin memprihatinkan. Migrant CARE mencatat adanya kemunduran dalam kebijakan perlindungan pekerja migran, di mana fokus pemerintah lebih diarahkan pada peningkatan remitansi ketimbang perlindungan hak. Target penempatan 425.000 pekerja migran per tahun dinilai sebagai bentuk komodifikasi tenaga kerja, bukan penguatan hak asasi.
“Ratusan ribu orang muda terjebak dalam sindikat penipuan dan judi online di Asia Tenggara, dan setidaknya 157 pekerja migran Indonesia terancam hukuman mati. Apakah negara sudah mati rasa terhadap tragedi kemanusiaan ini?” tegasnya.
Dikatakan Wahyu, pemerintah melalui Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia bahkan tengah mengupayakan pencabutan moratorium pengiriman pekerja ke Arab Saudi, meskipun negara tersebut belum memenuhi standar perlindungan hak asasi tenaga kerja.
Migrant CARE menilai pemerintah tidak serius dalam menjalankan Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak Pekerja Migran yang telah diratifikasi Indonesia. Mereka menyerukan perbaikan menyeluruh terhadap UU No 18/2017 dengan pendekatan berbasis hak, bukan sekadar memperkuat lembaga kementerian.
“Realitas ini memperlihatkan bahwa Pemerintah Indonesia tidak serius dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia,” tuturnya .
Dalam peringatan Hari Buruh ini, Migrant CARE bersama gerakan buruh nasional menyuarakan tiga tuntutan utama:
- Wujudkan tata pemerintahan yang demokratis, menjunjung supremasi sipil dan menolak keterlibatkan militer dalam bisnis, birokrasi, konflik agraria dan perburuhan.
- Wujudkan tata keola perekonomian yang berorientasi keadilan sosial, berpihak kepada kelas pekerja, menolak oligarki dan penugasan asset – asset ekonomi negara untuk kepentingan politik.
- Wujudkan tata kelola migrasi yang aman dan menolak komoditifikasi pekerja migran dengan memperbaiki/merevisi UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dengan berorientasi pada perspektif hak asasi pekerja migran dan bukan hanya untuk kepentingan sesaat memperkuat kelembagaan Kementerian yang berorientasi kekuasaan. (ukt)