Sidang Pagar Laut : Ahli Sebut BPN Tak Seharusnya Terbitkan 263 Sertifikat di Wilayah Perairan
BANTEN – Saksi ahli dalam kasus korupsi pagar laut di Pesisir Kabupaten Tangerang menyebut Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak seharusnya menerbitkan 263 sertifikat hak milik (SHM) jika wilayah tersebut merupakan perairan.
Sidang lanjutan kasus korupsi tersebut di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Serang, Selasa (09/12/2025) dengan menghadirkan dua saksi ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Antara lain Ananda Prima Yurista Dosen Ahli Agraria Fakultas Hukum UGM dan Dosen Hukum Tata Negara UGM Dian Agung Wicaksono. Keduanya dihadirkan secara virtual melalui aplikasi zoom.
Dalam kesaksian sebagai ahli agraria, Ananda Prima Yurista mengatakan, penerbitan SHM di atas wilayah perairan seharusnya tidak dilakukan. Jika sertifikat tersebut sudah diterbitkan, kantor pertanahan setempat dapat membatalkan sertifikat tersebut jika tidak sesuai dengan data fisik.
“Sertifikat ini bisa dibatalakan dasarnya itu surat keterangan tanah garapan, ternyata tidak dilakukan tanah garapan, 263 sertifikat yang diterbitkan berdasar surat keterangan garapan itu sudah lama tidak dilakukan garapan,” katanya.
Baca juga Polisi Disebut Tambah Satu Tersangka Demo Ciceri, Kuasa Hukum Soroti Pola Kriminalisasi
Menurut Ananda, surat keterangan tanah garapan (SKTG) yang diterbitkan oleh terdakwa yakni Kepala Desa Kohod Arsin dan Sekretaris Desa Ujang Karta sebagai dasar mengajukan SHM cacat administrasi dan yuridis serta tidak sesuai dengan standar operasional prosedur.
Hal tersebut menyebabkan 263 SHM diturunkan menjadi SHGB yang dijual ke PT Cakra Karya Semesta seharga Rp16,5 miliar, lalu dialihkan lagi kepada PT Intan Agung Makmur seharga Rp39,6 miliar tidak sah dan melanggar aturan.
“Kalau dalam aspek administratif surat keterangan tanah garapan yang diterbitkan itu tidak sesuai dengan kondisi nyata. Kemudian objeknya itukan bidang tanahnya wilayah perairan,” tegasnya.
Ananda mengungkapkan, pengajuan hak atas tanah wilayah perairan itu sangat terbatas karena diatur dalam Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur syarat pemberian hak atas tanah di wilayah pesisir.
Dalam Pasal 6 ayat 2, ada tiga syarat yang mengatur perizinan hak atas tanah di perairan. Pertama, peruntukannya atau pemanfaatannya sesuai dengan RT/RW Daerah Setempat, kemudian harus ada rekomendasi dari Kabupaten atau Kota dan ketiga harus ada izin instansi terkait seperti lingkungan dan Kementerian Kelautan.
“Pemanfaatannya ditentukan untuk apa, itu diatur seperti untuk pelabuhan, pembangkit tenaga listrik atau kepentingan umum lainnya,” tuturnya. (ukt)






