
BANTEN – Dalam lanjutan sidang kasus korupsi pagar laut di Perairan Kabupaten Tangerang, salah satu saksi yang dihadirkan dalam sidang mengaku pernah berbohong saat dimintai keterangan sebagai saksi oleh Bareskrim Polri. Hal itu ia lakukan lantaran merasa takut uangnya disita polisi.
Sidang yang digelar Selasa (18/11/2025), di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri (PN) Serang, sidang menghadirkan dua warga sebagai saksi yakni Jaudih (70) yang berprofesi sebagai petani dan Albar (44) yang berprofesi sebagai nelayan di sekitar Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.
Kasus ini menjerat empat terdakwa yakni Kades Kohod Arsin bin Asip, Sekretaris Desa Kohod Ujang Karta, Septian Prasetyo dan Candra Eka Agung Wahyudi. Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim beberapa kali mencecar kedua saksi karena keterangannya yang dinilai membingungkan.
Majelis Hakim menanyakan kepada Albar apakah pernah menerima uang setelah menitipkan surat keterangan tanah garapan (SKTG) kepada Sekretaris Desa Kohod, Ujang Karta. Ia pun membenarkan hal tersebut dan menganggapnya sebagai uang kerohiman karena telah menjual SKTG.
Lihat juga Lima Pekerja PT GRS Didakwa Bersalah Usai Keroyok Pegawai KLH dan Jurnalis
Albar mengaku menerima uang senilai Rp80 juta dari seorang notaris di salah satu rumah makan di Kota Tangerang saat menyerahkan surat garapan tersebut. Akhirnya hakim menanyakan kepada Albar mengapa ia mengaku hanya diberi Rp15 juta saat diperiksa oleh Bareskrim Polri sebagai saksi.
”Yang benar Rp80 juta, Pak. Waktu bilang Rp15 juta karena takut dipinta polisi” katanya saat sidang.
Hakim juga sempat mencecar Albar terkait alasan mengajukan surat garapan. Itu karena lahan yang diajukan oleh Albar tidak jelas batasnya. Albar berdalih bahwa alasan ia mengajukan surat garapan karena tanah tersebut pernah digarap oleh orang tuanya sebelum akhirnya abrasi pada tahun 1993.
Setelah berulang kali dicecar, akhirnya Albar mengakui alasan sebenarnya. Ia mengajukan surat garapan karena mendengar kabar burung akan ada ekspansi proyek dari pengembang perumahan ke wilayah Desa Kohod.
”Saya cuma denger. Makanya mengajukan garapan,” ujarnya.
Albar juga mengakui bahwa dirinya hanya memberikan KTP dan Kartu Keluarga saat mengurus surat. Setelah jadi, surat itu ia titipkan kepada Ujang Karta.
Hakim juga sempat heran karena luas lahan yang diajukan surat garapan oleh Albar dan Jaudih memiliki luas yang sama yakni 1,5 hektare. Keduanya juga menerima uang sejumlah Rp80 juta setelah menjual surat garapan.
Saksi Jaudih mengaku bahwa lahannya terakhir digarap saat ia berusia sekitar 16 tahun. Setelahnya, lahan tersebut tak lagi digarap karena sudah bukan lagi daratan.
Jaudih juga mengakui jika dirinya hanya menyerahkan KTP dan Kartu Keluarga. Sisanya, ia menyerahkan kepada Ujang Karta.
“Saya mah gak ngarti, gatau, buta huruf gak sekolah,” tuturnya.
Jaudih yang sudah lanjut usia sempat ditegur oleh hakim karena posisi duduknya yang dinilai tidak sopan. Ia pun menjawab dengan santai bahwa hal itu ia lakukan karena sakit pinggang. (ukt)





