Kasus Pagar Laut, 260 Sertifikat Terbit di Atas Lumpur dan Tanah Timbul

BANTEN – Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang menerbitkan 260 sertifikat hak milik (SHM) di kawasan Muara Cisadane yang faktanya masih berupa lumpur, tanah timbul, dan sebagian berada di perairan.
Hal tersebut terungkap dalam sidang lanjutan terkait kasus Pagar Laut di Pesisir Kabupaten Tangerang di di Pengadilan Tipikor Serang pada Selasa (14/10/2025). Sidang tersebut menghadirkan sejumlah pejabat Bapenda Kabupaten Tangerang dan Kementerian ATR/BPN sebagai saksi.
Kasus ini menjerat empat terdakwa, yaitu Kepala Desa Kohod Arsin, Sekdes Kohod Ujang Karta, serta Septian Prasetyo dan Chandra Eka Agung Wahyudi.
Dalam sidang, auditor Kementerian ATR/BPN Iksan Pamungkas menyatakan, penerbitan sertifikat tersebut bermasalah sejak awal karena objek tanah tidak memiliki batas fisik yang jelas.
“Hamparan di Muara Cisadane itu berupa lumpur dan tanah timbul. Batas-batas tanah tidak ada,” ujarnya saat memberikan kesaksian.
Menurut Pamungkas, SHM tersebut terbit di lahan 400 hektare yang diklaim oleh Kades Kohod sebagai lahan bekas tambak. Tak sampai di situ, ia juga menemukan tumpang tindih permohonan sertifikat karena terdapat dua permohonan hak atas tanah di lokasi yang sama, yaitu milik Arsin (Kepala Desa Kohod) sebanyak 16 bidang tanah, dan permohonan 260 bidang oleh warga pada tahun 2024.
“Hasil klarifikasi kami, Arsin mengakui bahwa 260 bidang tanah itu adalah bagian dari tanah yang dia kuasai. Sementara 16 bidang lainnya dibatalkan,” katanya.
Baca juga Kades Kohod dan 3 Terdakwa Kasus Pagar Laut Tangerang Didakwa Terima Uang Pengurusan Sertifikat Tanah
Pamungkas juga menemukan fakta bahwa sertifikat diterbitkan tanpa verifikasi lokasi yang memadai. Audit menyimpulkan penerbitan sertifikat dilakukan untuk lahan seluas sekitar 400 hektare yang diklaim sebagai bekas tambak, namun batas teknis dan legalitas objek tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sementara itu, saksi lainnya yang merupakan Kepala Bidang Penetapan, Pendataan, dan Penilaian Pajak Daerah pada Bapenda Kabupaten Tangerang, Dwi Candra Budiman dalam kesaksiannya menyampaikan, Kades Kohod pada kurun waktu tahun 2022-2023 mengajukan 286 bidang Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebelum lahan tersebut diterbitkan sertifikat.
Yakni pada 2022 sebanyak 203 bidang dengan total sekitar 323 hektare, serta tahun 2023 sebanyak 83 bidang dengan luas sekitar 127 hektare. Pengajuan tersebut dilakukan dengan dalih untuk meningkatkan pendapatan daerah melalui empang atau tambak.
”Pengajuannya atasnama warga, tapi kolektif oleh kades (Arsin),” tuturnya.
Berkas permohonan SPPT-PBB tersebut dilengkapi surat pernyataan garapan, KTP, KK, dan keterangan dari kepala desa. Petugas mengaku sempat turun ke lapangan dan menerbangkan drone untuk memeriksa.
Namun, saat pengecekan, lahan yang dimohonkan hanya dibatasi pagar bambu dan kavling kotak-kotak sederhana di atas lumpur, belum berupa pemukiman atau lahan garapan produktif.
”Secara kasat mata berupa tambak yang menyatu dengan daratan karena daratan yang isinya tambak dibatasi oleh bambu,” katanya.
Ia juga menjelaskan bahwa kavling yang diperiksa berbeda dengan pagar bambu sepanjang 33 kilometer yang sebelumnya sempat dipasang di kawasan pesisir Tangerang dan kemudian dibongkar pemerintah dalam kasus yang dikenal sebagai Kasus Pagar Laut.
Saksi Dwi juga menyebut tidak ada pungutan dalam proses administrasi pendaftaran, tetapi pemohon diwajibkan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sekitar Rp2 juta per bidang.
Sidang juga akan kembali dilanjutkan pada Kamis (16/10/2025) dengan agenda pemeriksaan saksi. (ukt)